Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialime adalah sebuah aliran filsafat yang berfokus kepada cara “berada” manusia di dunia. Aliran ini lahir akibat penentangan terhadap aliran materialisme yang menyebutkan bahwa tidak ada pengelompokkan tentang cara berada semua yang ada yang didunia, contohnya: manusia dan kursi itu sama-sama memiliki bentuk (form) dan wujud (matter). Tidak ada pengelompokkan yang khusus, mereka menganggap semuanya sama. Karena hal inilah para filsuf eksistensialisme mulai bereaksi dan mengatakan bahwa cara “berada” manusia dan benda itu tidaklah sama.
Eksistensialisme juga lahir akibat penentangan terhadap aliran idealisme yang menyebutkan bahwa manusia hanya menjadi objek didalam dunia ini. Manusia adalah hasil refleksi dari “idea” yang kemudian mereka hanya sebuah perwujudan dari alam idea. Terlebih lagi salah satu filsuf idealisme, Hegel, mengatakan bahwa manusia adalah totalitas objektif yang merupakan sebuah kesatuan yang sama tanpa ada pengelompokkan, dengan kata lain setiap manusia adalah sama tidak ada bedanya. Dengan hal itu para filsuf eksistensialisme menentang keras hal tersebut.
Mereka memandang bahwa manusia bukan hanyalah objek yang hanya “berada”; manusia bukan hanya merupakan sebuah objek, melainkan bisa juga sebagai seubjek yang “beresksitensi”. Apa yang dimaksudkan dengan “berada” dan “bereksistensi”? Cara manusia “bereksistensi-pun berbeda dengan cara “bereksistensi” manusia yang lain.
Berada adalah cara benda ada didunia, mereka hanya “ada” tanpa sadar dan mengetahui mengapa, kenapa dan apa yang membuat mereka “ada”. Sedangkan “bereksistensi” adalah cara “ada” manusia yang mengetahui mengapa, kenapa dan apa yang membuat mereka ada. Mereka sadar akan kehadirannya dan juga orang lain.
Aliran eksistensialisme tidak hanya memiliki satu tokoh; mereka memiliki beberapa tokoh yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan aliran ini, seperti : Si Bapak Eksistensialisme “Kierkegaard”, Jean Paul Sartre, Martin Hiedegger, Karl Jasper, dan Gabriel Marcel. Berikut beberapa ciri yang dimiliki dari keseluruhan aliran Eksistensialisme:
1. Motif pokok adalah apa yang disebut dengan eksistensi, yaitu cara manusia berada. Mereka sepakat memandang bahwa hanyalah manusia yang bereksistensi dan benda hanya berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia, dengan demikian filsafat ini juga bersifat humanis.
2. Bereksistensi harus diartikan secar dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.
3. Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesame manusia.
4. Filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger member tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.
Tidak hanya itu, cara pandang mereka-pun sedikit berbeda dalam memandang cara “eksistensi” manusia. Seperti eksistensialisme yang dikemukakan oleh Kierkegaard lebih merujuk kepada aspek keagamaan. Sartre dalam pandangannya hanya menjelaskan tentang “aku” dan “ketiadaan”, seperti judul dalam salah satu bukunya “aku dan ketiadaan”. Marcel dan Jasper sama-sama mengemukakan tentang “aku” dan “engkau”, namun Marcel menyebutkan bahwa “engkau” tidak hanya sebagai “engkau” yang biasa, Marcel mengatakan tentang “engkau” yang absolut yang tidak bias dijangkau oleh “aku”.
Untuk mengetahui apa perbedaan yang jelas dari pemikiran-pemikiran mereka, kita akan kupas lebih luas dalam tulisan yang berikutnya, karena aliran filsafat mereka tidak dapat dijelaskan secara ringkas; filsafat mereka memiliki tingkat kerumitan yang tersendiri, karena kita harus memahami konsep “aku” dan “engkau” terlebih dahulu.
Eksistensialisme juga lahir akibat penentangan terhadap aliran idealisme yang menyebutkan bahwa manusia hanya menjadi objek didalam dunia ini. Manusia adalah hasil refleksi dari “idea” yang kemudian mereka hanya sebuah perwujudan dari alam idea. Terlebih lagi salah satu filsuf idealisme, Hegel, mengatakan bahwa manusia adalah totalitas objektif yang merupakan sebuah kesatuan yang sama tanpa ada pengelompokkan, dengan kata lain setiap manusia adalah sama tidak ada bedanya. Dengan hal itu para filsuf eksistensialisme menentang keras hal tersebut.
Mereka memandang bahwa manusia bukan hanyalah objek yang hanya “berada”; manusia bukan hanya merupakan sebuah objek, melainkan bisa juga sebagai seubjek yang “beresksitensi”. Apa yang dimaksudkan dengan “berada” dan “bereksistensi”? Cara manusia “bereksistensi-pun berbeda dengan cara “bereksistensi” manusia yang lain.
Berada adalah cara benda ada didunia, mereka hanya “ada” tanpa sadar dan mengetahui mengapa, kenapa dan apa yang membuat mereka “ada”. Sedangkan “bereksistensi” adalah cara “ada” manusia yang mengetahui mengapa, kenapa dan apa yang membuat mereka ada. Mereka sadar akan kehadirannya dan juga orang lain.
Aliran eksistensialisme tidak hanya memiliki satu tokoh; mereka memiliki beberapa tokoh yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan aliran ini, seperti : Si Bapak Eksistensialisme “Kierkegaard”, Jean Paul Sartre, Martin Hiedegger, Karl Jasper, dan Gabriel Marcel. Berikut beberapa ciri yang dimiliki dari keseluruhan aliran Eksistensialisme:
1. Motif pokok adalah apa yang disebut dengan eksistensi, yaitu cara manusia berada. Mereka sepakat memandang bahwa hanyalah manusia yang bereksistensi dan benda hanya berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia, dengan demikian filsafat ini juga bersifat humanis.
2. Bereksistensi harus diartikan secar dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.
3. Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesame manusia.
4. Filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger member tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.
Tidak hanya itu, cara pandang mereka-pun sedikit berbeda dalam memandang cara “eksistensi” manusia. Seperti eksistensialisme yang dikemukakan oleh Kierkegaard lebih merujuk kepada aspek keagamaan. Sartre dalam pandangannya hanya menjelaskan tentang “aku” dan “ketiadaan”, seperti judul dalam salah satu bukunya “aku dan ketiadaan”. Marcel dan Jasper sama-sama mengemukakan tentang “aku” dan “engkau”, namun Marcel menyebutkan bahwa “engkau” tidak hanya sebagai “engkau” yang biasa, Marcel mengatakan tentang “engkau” yang absolut yang tidak bias dijangkau oleh “aku”.
Untuk mengetahui apa perbedaan yang jelas dari pemikiran-pemikiran mereka, kita akan kupas lebih luas dalam tulisan yang berikutnya, karena aliran filsafat mereka tidak dapat dijelaskan secara ringkas; filsafat mereka memiliki tingkat kerumitan yang tersendiri, karena kita harus memahami konsep “aku” dan “engkau” terlebih dahulu.
Comments
Post a Comment